Kamis, 24 November 2011

Riolovita ♥


“Kriiinggg......” Ah, jam weker butut itu lagi.. Oops, maafkan aku jam, bukan maksudku mengejek. Kau adalah jam weker setia yang telah menemaniku sejak kelas 4 SD. Walaupun dari dulu suara ‘kring’ yang kau buat selalu memaksa perjalanan tidurku untuk berhenti.

Jam itu adalah pemberian Dila, sahabatku, saat aku berulang tahun. Aku masih ingat, saat itu Dila yang diam-diam mengikutiku ke perpustakaan lalu mengagetkanku sambil membawa kado itu. Aku berteriak sangat kencang sehingga Dila juga terkejut. Sampai-sampai kado yang dibawa hampir terjatuh. Kalau sampai jatuh, mungkin suara ‘kring’ itu tidak akan pernah mengganggu tidurku.

“Ta.. sudah bangun? Lavita, ayo bangun!”, suara mama yang serak-serak basah itu selalu terdengar setelah jam weker berdering dengan diiringi suara ketukan pintu. Aku hanya diam. Ketukan itupun makin keras, dengan malas aku pun menjawab, “udah ma..”. Ketukan pun berhenti, samar-samar terdengar suara langkah kaki menjauhi kamarku.

Aku beranjak dari tempat tidur dengan mata yang masih sipit. “Uh! Dingin sekali! Brrr...”, pikirku saat kupijakkan kaki ke lantai. Aku langsung bersiap-siap ke sekolah. Setelah mandi, langsung ku ambil seragam yang sangat jauh berbeda dengan seragam yang biasa kupakai. Masih ada dalam bayanganku, seragam yang terakhir kali kupakai bermotif kotak-kotak ungu muda dengan rok panjang putih yang bahannya sangat kasar. Sangat tidak nyaman dipakai, gatal! Tanpa pikir panjang apakah seragam baru ini lebih nyaman atau malah sebaliknya, aku langsung mengenakannya. Masih kusut, belum sempat disetrika. Dicucipun tidak. Aroma penjahit masih melekat pada kain, “aromanya seperti rokok papa”, pikirku, mungkin sang penjahit adalah perokok berat. Aku tidak mau disangka sebagai gadis perokok, langsung saja kusambar botol parfum bertuliskan ‘Blossom’ yang isinya masih setengah dan kusemprotkan hampir semua isinya ke seluruh badan. “Ini jauh lebih baik”, tuturku dengan senyuman kecil.

Saat melewati meja belajar, kuteringat pada sesuatu. Oh ya, peralatan sekolah! Langsung saja kumasukkan 2 buku tulis kosong, sebuah pulpen dan sebuah penggaris lipat kedalam tas hitam dengan gambar ‘hello kitty’. “Hmm, hari pertama ini sama sekali tidak ada persiapan”, tuturku pasrah.

Aku pun mulai bersemangat setelah aroma nasi goreng menyelinap dalam kamarku. Secepat kilat aku langsung menuju ke meja makan. Mama dan papa telah siap untuk sarapan. Aku pun menyusul mereka. Aku melahap sesendok demi sesendok makanan favoritku dengan nikmat.

“Untuk hari pertama ini, papa antar kamu ke sekolah. Tapi, untuk hari-hari berikutnya, kamu berangkat sendiri ya! Berangkat pakai sepeda lipat, tidak keberatan, kan? papa memulai pembicaraan dengan nada yang sedikit mengejek. “Iya iya pa, nggak keberatan kok.” Jawabku dengan mulut penuh makanan.

Setelah selesai sarapan, aku dan papa langsung masuk ke mobil sedan coklat dengan garis hitam di samping kanan kirinya. Papa pun mengemudi sangat cepat, sekitar 70 km/jam. Memang jalanan sangat sepi, tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Setelah 5 menit berlalu, mobil berhenti di depan bangunan dengan gerbang yang bertuliskan ‘SMAN 13 DEPOK’. Aku langsung turun sambil memberi salam kepada papa. Aku menelusuri jalan berumput agak tinggi dengan pikiran-pikiran yang meracuni otak. “Kenapa ‘13’?” “Apa sekolah ini angker?” “Apakah sekolah ini terdaftar oleh pemerintah?” “Bagaimana jika sekolah ini tempat penyimpanan barang curian?” Sekolah yang ini berbeda, jauh lebih terasa angker dari sekolah sebelumnya. Tapi, siapa yang tahu akan ada kejutan apa di dalamnya?

Aku memang sering pindah-pindah sekolah. Sangat sering, menurutku. Dalam 1 tahun, aku bisa bersekolah di 3 sekolah yang berbeda. Itu kujalani sejak kelas 5 SD hingga sekarang, kelas 1 SMA. Tak tahu sampai kapan aku akan terus begini, mungkin sampai papa pensiun. Papa memang sering ditugaskan oleh kantor pusat untuk bekerja di wilayah-wilayah terpencil. Dan di rumah, aku mungkin bisa membuka pameran seragam, hahaha. Karena banyaknya seragam yang telah kupakai sampai saat ini. Lelah? Memang, tetapi akan terus kujalani dengan tulus. Aku selalu berharap ada sesuatu yang berbeda di sekolah baru.

Semua pikiranku langsung lenyap ketika seseorang memanggilku dari kejauhan, “Hey!” Dengan mata yang sedikit kusipitkan, kucoba mengenalinya. Wajah oval, rambut hitam cepak dan memakai kaca mata dengan frame hitam yang lumayan tebal. Tapi usahaku tidak berhasil, karena aku memang belum pernah melihatnya.

Dia pun berlari kecil menghampiriku. Dengan ramah dia bertanya, “Kamu anak baru ya?” “Iya”, jawabku lirih. Kejadian ini sangat kontras dengan yang biasa terjadi di awal aku masuk sekolah baru. Masih kuingat, dulu saat pertama masuk sekolah, tidak ada yang menyapaku kecuali guru. Mungkin semua murid menganggapku aneh, tak tahu mengapa. Karena itu sejak SMP aku tidak memiliki teman yang benar-benar dekat.

“Hmm, mau aku antarkan ke ruang guru?” aku hanya menjawab dengan anggukan. Setelah sampai, aku disambut oleh guru-guru yang menurutku sudah cukup usia untuk pensiun. “Sekolah ini kekurangan tenaga” terbesit pikiran itu dalam benakku.

Setelah berbincang-bincang sedikit dengan para guru, aku dan.. ah aku tak tahu siapa nama anak laki-laki yang menemuiku di dekat gerbang sekolah pagi ini. “Ngomong-ngomong, siapa namamu?” Aku memulai pembicaraan. “Rio, kamu Lavita kan? Kalau tidak salah dengar, tadi bu guru memanggilmu dengan nama itu.” Aku mengangguk pelan.

Kami berdua menyusuri kelas-kelas sepi dan berhenti di depan sebuah kelas bertuliskan ‘X-1’ di atas pintunya. “Nah, kebetulan kita sekelas, inilah kelas kita.” Akupun masuk ke dalam, ruangannya cukup pengap, tak ada pendingin udara. Hanya ada sebuah kipas angin yang dari melihatnya saja sudah tahu pasti bahwa alat itu rusak. “Disini panas, ya?” “Ya, beginilah, lama-lama pasti kamu juga terbiasa.” Jawab Rio dengan senyum.

Sejak saat itu kami menjadi teman akrab. Ya.. bisa dibilang sebagai ‘sahabat’. Walau baru genap 5 hari aku duduk di bangku kelas sekolah ini. Ini sangat berbeda dengan keadaanku di sekolah-sekolah lama. Tak punya teman, selalu menyendiri, dianggap aneh, dan bla bla bla.. Sungguh menyedihkan!

Aku selalu duduk dengannya, di meja kedua dari depan tepat di depan meja guru. Awalnya aku merasa canggung saat Rio memintaku untuk duduk dengannya. Aku malu kepada teman-teman, karena memang tidak biasa murid perempuan dan laki-laki duduk semeja. Tapi setelah kujalani memang tidak ada yang mempermasalahkannya, tak ada yang memperhatikan kami.

Hari-hariku menjadi lebih berwarna dengan kehadiran Rio. Kami selalu bersama dalam suka dan duka. Tak terasa 1 tahun telah terlewati, aku juga heran mengapa papa tidak pernah membicarakan tentang kota selanjutnya yang akan kami singgahi. Mungkin inilah kota terakhir keluarga kami. Kuharap begitu.

  Sekarang aku duduk di kelas 2 SMA, tepatnya di kelas XI IPA 2. Dan betapa senangnya aku, karena Rio juga berada di kelas yang sama! Tanpa kusadari, ternyata aku menaruh hati padanya sejak pertama bertemu. Ini adalah kali pertama rasa itu menghampiriku. Sangat menakjubkan! Ingin rasanya setiap hari bersama dengannya, mendengar tawanya dan lelucon-lelucon yang sering dia buat untuk menghiburku.

“Seandainya aku dan Rio selalu bersama untuk selamanya.. kuliah di universitas yang sama dengan jurusan yang sama pula. Lalu kami membuka usaha bersama, sebuah cafe  yang bernama ‘Riolovita’, singkatan dari ‘Rio love Vita’. Setelah cukup umur kami akan menikah dan berbulan madu di Eropa..”

Lamunanku pudar saat Rio mengagetkanku dari belakang, “Hayo!! Nglamun ya? Bengong aja!” wajahku memerah, “Eh, apa-apaan sih! Ganggu aja!” “Hehehe, maaf vita.. sini-sini aku mau curhat”, jawabnya sambil meringis. “Wah, curhat apa ni?”, sahutku cepat.

Rio pun mulai mengeluarkan seluruh unek-uneknya. Dari cerita tersebut dapat kuambil kesimpulan bahwa dia sedang jatuh cinta dengan seorang gadis SMA. Dia memintaku memberi saran bagaimana cara untuk menyatakan rasa cintanya kepada gadis itu. Tanpa pikir panjang aku langsung menjawab, “Tidak tahu, itukan urusanmu! Kenapa tanya aku?” Raut wajah Rio seketika berubah dari cerah menjadi bingung, “Lho, kok kamu marah? Wajarkan kalau bertanya kepada sahabat?” “Sudah ah, aku mau ke perpustakaan!”, jawabku dengan cemberut.

Aku langsung berlari dengan menahan bendungan air mata. Kudengar Rio berteriak, “Vita, tunggu aku! Perlu ditemani tidak?” tanpa menjawab kupercepat lariku sambil mengusap linangan air mata yang memaksa untuk keluar. Hatiku remuk, sangat sakit rasanya!

Pada jam pelajaran terakhir, aku diam seribu bahasa kepadanya. Mataku agak merah dan sedikit bengkak. Aku tahu, dia pasti tahu mengapa aku begini. Itu tak kuhiraukan, yang kupikirkan hanyalah cara untuk melupakan dirinya.

Sejak saat itu, hubungan kami merenggang. Hanya sedikit mengobrol, paling-paling hanya bertegur sapa. Tak ada lagi canda tawa bersama, ke kantin, ke perpustakaan, semuanya kulakukan tanpanya. Hari-hariku kembali seperti dulu, tidak secerah saat bersama Rio. Tetapi tetap kurasakan keramahannya padaku, dia tidak berubah, ingin tetap akrab denganku. Tetapi aku tidak, kuberusaha melupakannya!

Sampai pada suatu malam, aku mendapat sebuah SMS dari Rio.


Malam vita, maaf mengganggu. Besok aku akan memberi kejutan pada gadis yang pernah kuceritakan kepadamu. Doakan aku : )
 



Langsung saja kubanting HP ke tempat tidur. Air matapun meleleh di pipiku. Tak kusangka dia belum juga tahu kalau aku merasa cemburu dengan gadis itu, dia belum sadar kalau aku sangat menyukai dirinya.

            “Aku benci Rio!!!”, teriakku sambil meremas bantal yang kututupkan pada wajahku. “Aku akan melupakanmu, benar-benar melupakanmu!” Semakin sering kuucapkan kalimat itu, semakin sulit aku melupakannya. Mungkin inilah cinta sejati. Ini benar-benar menyiksa!

Keesokan harinya di sekolah, Rio memulai pembicaraan, “Hai vita, hari ini adalah hari yang kutunggu. Bisa nggak datang malam ini ke cafe di Jalan Mawar? Please, bantu aku ya untuk menyatakan cinta kepadanya. Aku grogi kalau sendirian..” Mataku yang bengkak karena tiap hari menangis langsung terbelalak, “Hah, malam ini? Jam berapa?” Dengan senyum yang mengembang Rio menjawab, “Pukul 7 tepat, jangan terlambat ya!” Terpaksa aku menerima permintaannya karena aku sangat penasaran dengan gadis yang dia sukai. Pasti dia cantik, tinggi, putih, berambut panjang, anggun, dan sangat menawan. Segalanya melebihi aku, huh!

Tepat pukul 7 aku berangkat dari rumah, tanpa sepeda lipat, hanya berjalan kaki karena letak cafe tidak jauh dari rumah. Baru setengah perjalanan aku berubah pikiran, aku tidak ingin melihat kejadian yang paling menyakitkan hati di cafe nanti. Lalu aku mengirim SMS kepada Rio.


Maaf, aku nggak jadi datang. Ada acara mendadak. Good luck.
 





Rio tidak membalas pesanku, mungkin dia sedang asyik bersama gadis itu. Pikiran-pikiran itu melayang-layang, membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Aku menyesal kenapa bisa menyukainya, tetapi apa daya, perasaan memang tidak dapat diduga.

Hari-hari selanjutnya kujalani sendiri. Benar-benar sendiri, tanpa Rio. Di kelas aku duduk dengan murid lain. Kulihat wajahnya yang mulai murung dan terlihat pucat. Sangat pucat, seperti tak ada semangat hidup. Tapi masih kulihat usahanya untuk tersenyum kepadaku dan teman-teman. Aku tak mau menanyakan dan mempermasalahkannya. “Mungkin dia ada masalah dengan gadis itu. Aku tak perlu ikut campur, hanya menyakitkan hatiku.”, pikirku cepat.

Hingga pada suatu hari, Rio tidak masuk sekolah. Ternyata dia mengidap penyakit kronis, komplikasi. Aku tak menyangka bahwa dia telah lama mengidap penyakit itu. Sepulang sekolah aku langsung datang ke rumahnya. Saat aku tiba, dia sedang tidur. Akupun berbincang-bincang dengan ibunya. Ibunya berkata bahwa Rio tidak mau dirawat di rumah sakit karena dia telah trauma dengan rumah sakit. Sejak kecil dia sering opname di rumah sakit. “Hah, ternyata dia sakit-sakitan. Kasihan sekali!” kataku dalam hati.

“Bu.. ibu..” terdengar suara Rio dari dalam kamar. “Sebentar ya dik, saya ke kamar dulu.” “Iya bu..”, jawabku pelan.

Beberapa saat kemudian beliau memanggilku untuk pergi menemui Rio. Di dalam kamar terbujur lemah tubuh Rio. Disudut kamar terdapat sebuah meja kecil yang dipenuhi oleh obat-obatan. Selang infus tergantung dan pada ujungnya terdapat jarum yang menembus kulit tangannya. Kondisinya sangat mengenaskan. Wajahnya pucat, bibirnya kering dan tubuhnya terlihat sangat kurus. Walau begitu, dia tetap berusaha untuk tersenyum kepadaku. Senyum yang dibuat dengan susah payah.    

            “Lavita..”, suaranya yang lirih memanggilku. “Maafkan aku ya, telah membuatmu begini.. Maaf juga karena tidak membalas SMS-mu, saat itu pulsaku habis.” “Maaf untuk apa? Kamu nggak punya salah Rio. Aku yang salah. Sebenarnya setelah kau bercerita tentang gadis itu, aku menjadi membencimu dan menghindarimu. Tidak pernah menyapa dan tersenyum kepadamu. Saat kau memintaku untuk ke cafe , sebenarnya aku bisa datang, tapi aku berbohong. Maafkan aku Rio, maafkan aku..” Tak terasa aku menceritakan semuanya sambil mengangis. Ibu Rio yang berada didekatku pun ikut menitikkan air mata. “Dan satu lagi, sebenarnya..” Belum selesai aku berbicara, Rio berkata, “Ssst, sini, ada yang mau kuberikan padamu.”

Dia mengambil sebuah bungkusan kertas yang sedikit kucel dari bawah bantal. “Aku harap kamu mau menerimanya.”, tuturnya dengan senyum terindah yang pernah aku lihat selama ini. Sambil menggenggam tangannya aku pun membalas senyumnya sebagai tanda terima kasih.

Lalu matanya pun terpejam perlahan dan telapak tangan yang kugenggam menjadi sangat dingin. “Rio! Bangun nak, bangun! Jangan tinggalkan ibu!” Ibu Rio berteriak sambil menangis. Aku pun sadar, bahwa Rio telah tiada. Dadaku terasa sesak, tak dapat bernafas dan berkata-kata. Aku langsung menangis sambil terus menggenggam tangannya.

Aku pun teringat akan bungkusan itu, dengan tangan gemetar aku membukanya. Terdapat kalung hati berwarna merah yang sangat indah di dalamnya. Ternyata tertulis sebuah pesan pada kertas itu:

kamulah gadis itu, aku sangat menyukaimu.

Rio ♥ Vita


Tangisku makin menjadi-jadi. Kupandangi wajah Rio yang damai. Ternyata gadis yang dimaksud adalah aku sendiri. Seandainya aku datang ke cafe waktu itu, pasti tidak akan seperti ini. Aku sangat menyesal. Belum sempat aku mengungkapkan perasaanku padanya. “Rio, aku juga mencintaimu. Maafkan aku..”

***



“Mbak, mbak, mau ambil pesanan yang tadi pagi.” Suara seorang wanita mengagetkanku. “Eh, iya mbak, tadi pesan 5 nasi goreng spesial dan 3 mango smoothie, ya?” “Iya, berapa semuanya?” “Rp 65.000 mbak.” Aku tersenyum dan berterima kasih kepada wanita itu sambil menerima uang.

Ternyata dari tadi aku melamunkan tentang Rio. Aku memang tidak dapat melupakan ataupun benar-benar membencinya. Walau aku pernah berusaha melakukannya saat SMA. Semua kenangan dari awal pertemuan hingga hari terakhirnya, semua memori itu masih tertata rapi dalam otakku. Kugenggam bandul hati merah yang tergantung di leherku.

Sekarang aku telah mewujudkan angan-anganku yang dulu. Angan-angan saat dia masih ada. Membuka cafe , Cafe  Riolovita.





--the end--


0 komentar:

Posting Komentar