“Kriiinggg......”
Ah, jam weker butut itu lagi.. Oops, maafkan aku jam, bukan maksudku mengejek.
Kau adalah jam weker setia yang telah menemaniku sejak kelas 4 SD. Walaupun
dari dulu suara ‘kring’ yang kau buat selalu memaksa perjalanan tidurku untuk
berhenti.
Jam
itu adalah pemberian Dila, sahabatku, saat aku berulang tahun. Aku masih ingat,
saat itu Dila yang diam-diam mengikutiku ke perpustakaan lalu mengagetkanku
sambil membawa kado itu. Aku berteriak sangat kencang sehingga Dila juga
terkejut. Sampai-sampai kado yang dibawa hampir terjatuh. Kalau sampai jatuh,
mungkin suara ‘kring’ itu tidak akan pernah mengganggu tidurku.
“Ta..
sudah bangun? Lavita, ayo bangun!”, suara mama yang serak-serak basah itu
selalu terdengar setelah jam weker berdering dengan diiringi suara ketukan
pintu. Aku hanya diam. Ketukan itupun makin keras, dengan malas aku pun
menjawab, “udah ma..”. Ketukan pun berhenti, samar-samar terdengar suara langkah
kaki menjauhi kamarku.
Aku
beranjak dari tempat tidur dengan mata yang masih sipit. “Uh! Dingin sekali!
Brrr...”, pikirku saat kupijakkan kaki ke lantai. Aku langsung bersiap-siap ke
sekolah. Setelah mandi, langsung ku ambil seragam yang sangat jauh berbeda
dengan seragam yang biasa kupakai. Masih ada dalam bayanganku, seragam yang
terakhir kali kupakai bermotif kotak-kotak ungu muda dengan rok panjang putih
yang bahannya sangat kasar. Sangat tidak nyaman dipakai, gatal! Tanpa pikir
panjang apakah seragam baru ini lebih nyaman atau malah sebaliknya, aku
langsung mengenakannya. Masih kusut, belum sempat disetrika. Dicucipun tidak.
Aroma penjahit masih melekat pada kain, “aromanya seperti rokok papa”, pikirku,
mungkin sang penjahit adalah perokok berat. Aku tidak mau disangka sebagai
gadis perokok, langsung saja kusambar botol parfum bertuliskan ‘Blossom’ yang isinya masih setengah dan
kusemprotkan hampir semua isinya ke seluruh badan. “Ini jauh lebih baik”,
tuturku dengan senyuman kecil.
Saat
melewati meja belajar, kuteringat pada sesuatu. Oh ya, peralatan sekolah!
Langsung saja kumasukkan 2 buku tulis kosong, sebuah pulpen dan sebuah
penggaris lipat kedalam tas hitam dengan gambar ‘hello kitty’. “Hmm, hari pertama ini sama sekali tidak ada
persiapan”, tuturku pasrah.
Aku
pun mulai bersemangat setelah aroma nasi goreng menyelinap dalam kamarku.
Secepat kilat aku langsung menuju ke meja makan. Mama dan papa telah siap untuk
sarapan. Aku pun menyusul mereka. Aku melahap sesendok demi sesendok makanan
favoritku dengan nikmat.
“Untuk
hari pertama ini, papa antar kamu ke sekolah. Tapi, untuk hari-hari berikutnya,
kamu berangkat sendiri ya! Berangkat pakai sepeda lipat, tidak keberatan, kan?
papa memulai pembicaraan dengan nada yang sedikit mengejek. “Iya iya pa, nggak
keberatan kok.” Jawabku dengan mulut penuh makanan.
Setelah
selesai sarapan, aku dan papa langsung masuk ke mobil sedan coklat dengan garis
hitam di samping kanan kirinya. Papa pun mengemudi sangat cepat, sekitar 70
km/jam. Memang jalanan sangat sepi, tak banyak kendaraan yang lalu lalang.
Setelah 5 menit berlalu, mobil berhenti di depan bangunan dengan gerbang yang
bertuliskan ‘SMAN 13 DEPOK’. Aku langsung turun sambil memberi salam kepada
papa. Aku menelusuri jalan berumput agak tinggi dengan pikiran-pikiran yang
meracuni otak. “Kenapa ‘13’?” “Apa sekolah ini angker?” “Apakah sekolah ini
terdaftar oleh pemerintah?” “Bagaimana jika sekolah ini tempat penyimpanan
barang curian?” Sekolah yang ini berbeda, jauh lebih terasa angker dari sekolah
sebelumnya. Tapi, siapa yang tahu akan ada kejutan apa di dalamnya?
Aku
memang sering pindah-pindah sekolah. Sangat sering, menurutku. Dalam 1 tahun,
aku bisa bersekolah di 3 sekolah yang berbeda. Itu kujalani sejak kelas 5 SD
hingga sekarang, kelas 1 SMA. Tak tahu sampai kapan aku akan terus begini,
mungkin sampai papa pensiun. Papa memang sering ditugaskan oleh kantor pusat
untuk bekerja di wilayah-wilayah terpencil. Dan di rumah, aku mungkin bisa
membuka pameran seragam, hahaha. Karena banyaknya seragam yang telah kupakai
sampai saat ini. Lelah? Memang, tetapi akan terus kujalani dengan tulus. Aku
selalu berharap ada sesuatu yang berbeda di sekolah baru.
Semua
pikiranku langsung lenyap ketika seseorang memanggilku dari kejauhan, “Hey!”
Dengan mata yang sedikit kusipitkan, kucoba mengenalinya. Wajah oval, rambut
hitam cepak dan memakai kaca mata dengan frame
hitam yang lumayan tebal. Tapi usahaku tidak berhasil, karena aku memang belum
pernah melihatnya.
Dia
pun berlari kecil menghampiriku. Dengan ramah dia bertanya, “Kamu anak baru
ya?” “Iya”, jawabku lirih. Kejadian ini sangat kontras dengan yang biasa
terjadi di awal aku masuk sekolah baru. Masih kuingat, dulu saat pertama masuk
sekolah, tidak ada yang menyapaku kecuali guru. Mungkin semua murid
menganggapku aneh, tak tahu mengapa. Karena itu sejak SMP aku tidak memiliki
teman yang benar-benar dekat.
“Hmm,
mau aku antarkan ke ruang guru?” aku hanya menjawab dengan anggukan. Setelah
sampai, aku disambut oleh guru-guru yang menurutku sudah cukup usia untuk
pensiun. “Sekolah ini kekurangan tenaga” terbesit pikiran itu dalam benakku.
Setelah
berbincang-bincang sedikit dengan para guru, aku dan.. ah aku tak tahu siapa
nama anak laki-laki yang menemuiku di dekat gerbang sekolah pagi ini.
“Ngomong-ngomong, siapa namamu?” Aku memulai pembicaraan. “Rio, kamu Lavita
kan? Kalau tidak salah dengar, tadi bu guru memanggilmu dengan nama itu.” Aku
mengangguk pelan.
Kami
berdua menyusuri kelas-kelas sepi dan berhenti di depan sebuah kelas
bertuliskan ‘X-1’ di atas pintunya. “Nah, kebetulan kita sekelas, inilah kelas
kita.” Akupun masuk ke dalam, ruangannya cukup pengap, tak ada pendingin udara.
Hanya ada sebuah kipas angin yang dari melihatnya saja sudah tahu pasti bahwa
alat itu rusak. “Disini panas, ya?” “Ya, beginilah, lama-lama pasti kamu juga
terbiasa.” Jawab Rio dengan senyum.
Sejak
saat itu kami menjadi teman akrab. Ya.. bisa dibilang sebagai ‘sahabat’. Walau
baru genap 5 hari aku duduk di bangku kelas sekolah ini. Ini sangat berbeda
dengan keadaanku di sekolah-sekolah lama. Tak punya teman, selalu menyendiri,
dianggap aneh, dan bla bla bla.. Sungguh menyedihkan!
Aku
selalu duduk dengannya, di meja kedua dari depan tepat di depan meja guru.
Awalnya aku merasa canggung saat Rio memintaku untuk duduk dengannya. Aku malu
kepada teman-teman, karena memang tidak biasa murid perempuan dan laki-laki
duduk semeja. Tapi setelah kujalani memang tidak ada yang mempermasalahkannya,
tak ada yang memperhatikan kami.
Hari-hariku
menjadi lebih berwarna dengan kehadiran Rio. Kami selalu bersama dalam suka dan
duka. Tak terasa 1 tahun telah terlewati, aku juga heran mengapa papa tidak
pernah membicarakan tentang kota selanjutnya yang akan kami singgahi. Mungkin
inilah kota terakhir keluarga kami. Kuharap begitu.
Sekarang aku duduk di kelas 2 SMA, tepatnya
di kelas XI IPA 2. Dan betapa senangnya aku, karena Rio juga berada di kelas
yang sama! Tanpa kusadari, ternyata aku menaruh hati padanya sejak pertama
bertemu. Ini adalah kali pertama rasa itu menghampiriku. Sangat menakjubkan!
Ingin rasanya setiap hari bersama dengannya, mendengar tawanya dan
lelucon-lelucon yang sering dia buat untuk menghiburku.
“Seandainya
aku dan Rio selalu bersama untuk selamanya.. kuliah di universitas yang sama
dengan jurusan yang sama pula. Lalu kami membuka usaha bersama, sebuah cafe yang bernama ‘Riolovita’, singkatan dari ‘Rio love Vita’. Setelah cukup umur kami akan
menikah dan berbulan madu di Eropa..”
Lamunanku
pudar saat Rio mengagetkanku dari belakang, “Hayo!! Nglamun ya? Bengong aja!”
wajahku memerah, “Eh, apa-apaan sih! Ganggu aja!” “Hehehe, maaf vita..
sini-sini aku mau curhat”, jawabnya sambil meringis. “Wah, curhat apa ni?”,
sahutku cepat.
Rio
pun mulai mengeluarkan seluruh unek-uneknya. Dari cerita tersebut dapat kuambil
kesimpulan bahwa dia sedang jatuh cinta dengan seorang gadis SMA. Dia memintaku
memberi saran bagaimana cara untuk menyatakan rasa cintanya kepada gadis itu.
Tanpa pikir panjang aku langsung menjawab, “Tidak tahu, itukan urusanmu! Kenapa
tanya aku?” Raut wajah Rio seketika berubah dari cerah menjadi bingung, “Lho,
kok kamu marah? Wajarkan kalau bertanya kepada sahabat?” “Sudah ah, aku mau ke
perpustakaan!”, jawabku dengan cemberut.
Aku
langsung berlari dengan menahan bendungan air mata. Kudengar Rio berteriak,
“Vita, tunggu aku! Perlu ditemani tidak?” tanpa menjawab kupercepat lariku
sambil mengusap linangan air mata yang memaksa untuk keluar. Hatiku remuk,
sangat sakit rasanya!
Pada
jam pelajaran terakhir, aku diam seribu bahasa kepadanya. Mataku agak merah dan
sedikit bengkak. Aku tahu, dia pasti tahu mengapa aku begini. Itu tak
kuhiraukan, yang kupikirkan hanyalah cara untuk melupakan dirinya.
Sejak
saat itu, hubungan kami merenggang. Hanya sedikit mengobrol, paling-paling
hanya bertegur sapa. Tak ada lagi canda tawa bersama, ke kantin, ke
perpustakaan, semuanya kulakukan tanpanya. Hari-hariku kembali seperti dulu,
tidak secerah saat bersama Rio. Tetapi tetap kurasakan keramahannya padaku, dia
tidak berubah, ingin tetap akrab denganku. Tetapi aku tidak, kuberusaha
melupakannya!
Sampai
pada suatu malam, aku mendapat sebuah SMS dari Rio.
|
Langsung
saja kubanting HP ke tempat tidur. Air matapun meleleh di pipiku. Tak kusangka
dia belum juga tahu kalau aku merasa cemburu dengan gadis itu, dia belum sadar kalau
aku sangat menyukai dirinya.
“Aku benci Rio!!!”, teriakku sambil
meremas bantal yang kututupkan pada wajahku. “Aku akan melupakanmu, benar-benar
melupakanmu!” Semakin sering kuucapkan kalimat itu, semakin sulit aku
melupakannya. Mungkin inilah cinta sejati. Ini benar-benar menyiksa!
Keesokan
harinya di sekolah, Rio memulai pembicaraan, “Hai vita, hari ini adalah hari
yang kutunggu. Bisa nggak datang malam ini ke cafe di Jalan Mawar? Please,
bantu aku ya untuk menyatakan cinta kepadanya. Aku grogi kalau sendirian..”
Mataku yang bengkak karena tiap hari menangis langsung terbelalak, “Hah, malam
ini? Jam berapa?” Dengan senyum yang mengembang Rio menjawab, “Pukul 7 tepat,
jangan terlambat ya!” Terpaksa aku menerima permintaannya karena aku sangat
penasaran dengan gadis yang dia sukai. Pasti dia cantik, tinggi, putih,
berambut panjang, anggun, dan sangat menawan. Segalanya melebihi aku, huh!
Tepat
pukul 7 aku berangkat dari rumah, tanpa sepeda lipat, hanya berjalan kaki
karena letak cafe tidak jauh dari
rumah. Baru setengah perjalanan aku berubah pikiran, aku tidak ingin melihat
kejadian yang paling menyakitkan hati di cafe
nanti. Lalu aku mengirim SMS kepada Rio.
|
Rio
tidak membalas pesanku, mungkin dia sedang asyik bersama gadis itu.
Pikiran-pikiran itu melayang-layang, membuatku ingin berteriak
sekencang-kencangnya. Aku menyesal kenapa bisa menyukainya, tetapi apa daya,
perasaan memang tidak dapat diduga.
Hari-hari
selanjutnya kujalani sendiri. Benar-benar sendiri, tanpa Rio. Di kelas aku
duduk dengan murid lain. Kulihat wajahnya yang mulai murung dan terlihat pucat.
Sangat pucat, seperti tak ada semangat hidup. Tapi masih kulihat usahanya untuk
tersenyum kepadaku dan teman-teman. Aku tak mau menanyakan dan
mempermasalahkannya. “Mungkin dia ada masalah dengan gadis itu. Aku tak perlu
ikut campur, hanya menyakitkan hatiku.”, pikirku cepat.
Hingga
pada suatu hari, Rio tidak masuk sekolah. Ternyata dia mengidap penyakit
kronis, komplikasi. Aku tak menyangka bahwa dia telah lama mengidap penyakit
itu. Sepulang sekolah aku langsung datang ke rumahnya. Saat aku tiba, dia
sedang tidur. Akupun berbincang-bincang dengan ibunya. Ibunya berkata bahwa Rio
tidak mau dirawat di rumah sakit karena dia telah trauma dengan rumah sakit.
Sejak kecil dia sering opname di rumah sakit. “Hah, ternyata dia sakit-sakitan.
Kasihan sekali!” kataku dalam hati.
“Bu..
ibu..” terdengar suara Rio dari dalam kamar. “Sebentar ya dik, saya ke kamar dulu.”
“Iya bu..”, jawabku pelan.
Beberapa
saat kemudian beliau memanggilku untuk pergi menemui Rio. Di dalam kamar
terbujur lemah tubuh Rio. Disudut kamar terdapat sebuah meja kecil yang
dipenuhi oleh obat-obatan. Selang infus tergantung dan pada ujungnya terdapat
jarum yang menembus kulit tangannya. Kondisinya sangat mengenaskan. Wajahnya
pucat, bibirnya kering dan tubuhnya terlihat sangat kurus. Walau begitu, dia
tetap berusaha untuk tersenyum kepadaku. Senyum yang dibuat dengan susah payah.
“Lavita..”, suaranya yang lirih
memanggilku. “Maafkan aku ya, telah membuatmu begini.. Maaf juga karena tidak
membalas SMS-mu, saat itu pulsaku habis.” “Maaf untuk apa? Kamu nggak punya
salah Rio. Aku yang salah. Sebenarnya setelah kau bercerita tentang gadis itu,
aku menjadi membencimu dan menghindarimu. Tidak pernah menyapa dan tersenyum
kepadamu. Saat kau memintaku untuk ke cafe
, sebenarnya aku bisa datang, tapi aku berbohong. Maafkan aku Rio, maafkan
aku..” Tak terasa aku menceritakan semuanya sambil mengangis. Ibu Rio yang
berada didekatku pun ikut menitikkan air mata. “Dan satu lagi, sebenarnya..”
Belum selesai aku berbicara, Rio berkata, “Ssst, sini, ada yang mau kuberikan
padamu.”
Dia
mengambil sebuah bungkusan kertas yang sedikit kucel dari bawah bantal. “Aku
harap kamu mau menerimanya.”, tuturnya dengan senyum terindah yang pernah aku
lihat selama ini. Sambil menggenggam tangannya aku pun membalas senyumnya sebagai
tanda terima kasih.
Lalu
matanya pun terpejam perlahan dan telapak tangan yang kugenggam menjadi sangat
dingin. “Rio! Bangun nak, bangun! Jangan tinggalkan ibu!” Ibu Rio berteriak
sambil menangis. Aku pun sadar, bahwa Rio telah tiada. Dadaku terasa sesak, tak
dapat bernafas dan berkata-kata. Aku langsung menangis sambil terus menggenggam
tangannya.
Aku
pun teringat akan bungkusan itu, dengan tangan gemetar aku membukanya. Terdapat
kalung hati berwarna merah yang sangat indah di dalamnya. Ternyata tertulis
sebuah pesan pada kertas itu:
kamulah gadis itu, aku sangat menyukaimu.
Rio ♥ Vita
Tangisku
makin menjadi-jadi. Kupandangi wajah Rio yang damai. Ternyata gadis yang
dimaksud adalah aku sendiri. Seandainya aku datang ke cafe waktu itu, pasti tidak akan seperti ini. Aku sangat menyesal. Belum
sempat aku mengungkapkan perasaanku padanya. “Rio, aku juga mencintaimu.
Maafkan aku..”
***
“Mbak,
mbak, mau ambil pesanan yang tadi pagi.” Suara seorang wanita mengagetkanku.
“Eh, iya mbak, tadi pesan 5 nasi goreng spesial dan 3 mango smoothie, ya?” “Iya, berapa semuanya?” “Rp 65.000 mbak.” Aku
tersenyum dan berterima kasih kepada wanita itu sambil menerima uang.
Ternyata
dari tadi aku melamunkan tentang Rio. Aku memang tidak dapat melupakan ataupun
benar-benar membencinya. Walau aku pernah berusaha melakukannya saat SMA. Semua
kenangan dari awal pertemuan hingga hari terakhirnya, semua memori itu masih
tertata rapi dalam otakku. Kugenggam bandul hati merah yang tergantung di
leherku.
Sekarang
aku telah mewujudkan angan-anganku yang dulu. Angan-angan saat dia masih ada. Membuka
cafe , Cafe Riolovita.
--the end--
0 komentar:
Posting Komentar